Askep HIV
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu
pengetahuan yang terus mengalami perkembangan telah membawa manusia
menuju suatu babak baru dalam kehidupan yang lebih maju. Namun, kemajuan
ini ternyata juga telah menuntun manusia ke kehidupan yang lebih bebas.
Sebagai contoh adalah adanya kasus seks bebas dan penggunaan narkoba.
Jika kedua kasus tersebut meningkat, berarti terjadi pula peningkatan
risiko penyebaran penyakit infeksi yang saat ini menjadi fenomena di
dunia. Salah satu penyakit infeksi yang menyebar melalui perilaku seks
bebas dan penggunaan narkoba adalah infeksi HIV/AIDS. Penyakit ini
sampai sekarang masih menjadi isu kesehatan publik di dalam komunitas di
seluruh dunia (Smeltzer & Bare, 2002).
Berdasarkan
data Departemen kesehatan (Depkes) pada periode Juli-September 2006
secara kumulatif tercatat pengidap HIV positif di Indonesia telah
mencapai 4.617 orang dan AIDS 6.987 orang (Media Indonesia, 2006).
HIV/AIDS merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan belum
ditemukan obat yang dapat memulihkannya hingga saat ini. Menderita
HIV/AIDS di Indonesia dianggap aib, sehingga dapat menyebabkan tekanan
psikologis terutama pada penderitanya maupun pada keluarga dan
lingkungan di sekeliling penderita.
Secara
fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya. Jika
ditambah dengan stres psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada
pasien terinfeksi HIV, maka akan mempercepat terjadinya AIDS, bahkan
meningkatkan angka kematian.
Pada
umumnya, penanganan pasien HIV memerlukan tindakan yang hampir sama.
Namun berdasarkan fakta klinis saat pasien kontrol ke rumah sakit
menunjukkan adanya perbedaan respons imunitas (CD4). Hal tersebut
menunjukkan terdapat faktor lain yang berpengaruh, dan faktor yang
diduga sangat berpengaruh adalah stres.
Perawat
merupakan faktor yang berperan penting dalam pengelolaan stres,
khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang
konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya. Selain itu,
perawat juga berperan dalam pemberian dukungan sosial berupa dukungan
emosional,informasi, dan material.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui Rencana Tindakan Keperawatan pada Klien HIV/AIDS.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mengetahui Asuhan Keperawatan Respons Biologis (Aspek Fisik) pada pasien HIV/AIDS.
b. Mahasiswa mengetahui Asuhan Keperawatan Respons Adaptif Psikologis.
c. Mahasiswa mengetahui Asuhan Keperawatan Respons Sosial.
d. Mahasiswa mengetahui Keperawatan Respons Spiritual
1.3 Metode Penulisan
Dalam
penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriptif yaitu
dengan penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi
kepustakaan dari literatur yang ada, baik di perpustakaan maupun di
internet.
1.4 Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
1.
BAB I : Pendahuluan, terdiri dari : latar belakang,
tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
2. BAB II : Tinjauan teoritis terdiri dari : Pengkajian dan Masalah Keperawatan, Diagnosis Keperawatan pada Pasien HIV/AIDS, Respon Spesifik pada Penderita HIV/AIDS, Intervensi Keperawatan Pasien Terinfeksi HIV (PHIV), Asuhan Keperawatan Respons Biologis (Aspek Fisik), Asuhan Keperawatan Respons Adaptif Psikologis (Strategi Koping), Asuhan Keperawatan Respons Sosial (Keluarga dan Peer Group), Asuhan Keperawatan Respons Spiritual.
3. BAB III : Penutup: terdiri dari kesimpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengkajian dan Masalah Keperawatan
Perjalanan
klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS sejalan
dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler.
Penurunan imunitas biasanya diikuti oleh adanya peningkatan resiko dan
derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan.
|
Masalah
Fisik
|
Masalah
Psikis
|
Masalah
Sosial
|
Masalah Ketergantungan
|
|
1. Sistem pernafasan: Dispnea, TBC, dan pneumonia
2. Sistem pencernaan: Nausea-Vomiting, Diare, Dysphagia, dan BB turun 10persen/3 bulan.
3. Sistem persyarafan: letargi, nyeri sendi, dan encepalopathy.
4. Sistem integumen: Edema yang disebabkan Kaposis Sarcoma, lesi dikulit atau mukosa, dan alergi.
5. Lain-lain: Demam dan risiko menularkan.
|
1. Integritas ego: perasaan tidak berdaya/putus asa
2. Faktor stress: baru/lama
3. Respon psikologis: menyangkal, marah, cemas dan mudah tersinggung
|
1. Perasaan minder dan tidak berguna di masyarakat
2. Interaksi sosial: peraaan terisolasi atau ditolak
|
Perasaan membutuhkan pertolongan orang lain
|
Tabel 2.1 Pengelompokan Masalah Keperawatan Pasien HIV/AIDS (menurut
Teori Adaptasi)
Terjadinya penurunan imunitas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor
yang perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan adalah stressor
psikososial. Reaksi yang pertama kali yang ditunjukkan setelah seseorang
didiagnosis mengidap HIV adalah penolakan dan terkejut/syok atau tidak
percaya. Pasien beranggapan bahwa sudah tidak ada harapan lagi dan HIV
merupakan penderitaan sepanjang hidup mereka.
2.2 Diagnosis Keperawatan pada Pasien HIV/AIDS
Pada pasien dengan HIV/AIDS, bisa ditemukan beberapa diagnosis keperawatan dan masalah kolaboratif, antara lain:
1. Resiko komplikasi/infeksi sekuder.
2. Wasting sindrom, sarcoma kaposi, dan limfoma.
3. Meningitis, infeksi oportunistik (misalnya Kandidiasis, Sitomegalovirus, Herpes, Pneumocystis carinii pneumonia)
Menurut NANDA (North American Nursing Diagnosis) Internasional Taksonomi II, Diagnosis keperawatan yang kemungkinan ditemukan pada pasien dengan HIV/AIDS antara lain:
1. Intoleransi
aktivitas. Hal ini berhubungan dengan kelemahan, kelelahan, efek
samping pengobatan, demam, malnutrisi, dan gangguan pertukaran gas
(sekunder terhadap infeksi paru atau keganasan).
2. Bersihan
jalan nafas tidak efektif. Hal ini berhubungan dengan penurunan energy,
kelelahan, infeksi respirasi, sekresi trakeobronkial, keganasan paru,
dan pneumothoraks.
3. Kecemasan adalah hal berhubungan dengan prognosis yang tidak jelas, persepsi tentang efek penyakit, dan pengobatan terhadap gaya hidup.
4. Gangguan gambaran diri. Hal ini berhubungan dengan penyakit kronis, alopesia, penurunan berat badan, dan gangguan sexsual.
5. Ketegangan peran pemberi perawatan (actual atau resiko) berhubungan dengan keparahan penyakit penerima perawatan, tahap penyakit yang tidak
dapat diprediksi atau ketidak stabilan dalam perawatan kesehatan
penerima perawatan, durasi perawatan yang diperlukan, lingkungan fisik
yang tidak adekuat untuk menyediakan perawatan, kurangnya waktu santai
dan rekreasi bagi pemberi perawatan, serta kompleksitas dan jumlah tugas
perawatan.
6. Konfusi
(akut atau kronis). Berhubungan dengan infeksi susunan saraf pusat
(misalnya toksoplasmosis), infeksi sitomegalovirus, limfoma,dan
perkembangan HIV.
7. Koping
keluarga berkaitan dengan ketidak mampuan untuk berhubungan dengan
informasi atau pemahaman yang tidak adekuat atau tidak tepat tentang,
penyakit kronis, dan perasaan yang tidak terselesaikan secara kronis.
8. Koping tidak efektif berhubungan dengan kerentanan individu dalam situasi krisis (misalnya penyakit terminal).
9. Diare, berhubungan dengan pengobatan, diet, dan infeksi.
10. Kurangnya aktivitas pengalihan, berhubungan dengan sering atau lamanya pengobatan medis, perawatan dirumah sakit dalam waktu yang lama, bedrest yang lama.
11. Kelelahan, berhubungan dengan proses penyakit serta kebutuhan psikologis dan emosional yang sangat banyak.
12. Takut,
berhubungan dengan ketidak berdayaan, ancaman yang nyata terhadap
kesejahteraan diri sendiri, kemungkinan terkucil, dan kemungkinan
kematian.
13. Volume cairan kurang, berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat sekunder terhadap lesi oral dan diare.
14. Berduka disfungfional/diantisipasi, berhubungan dengan: kematian atau perubahan gaya hidup yang segera terjadi, kehilangan fungsi tubuh, perubahan penampilan dan ditinggal mati oleh orang yang berarti (orang terdekat).
15. Perubahan pemeliharan rumah, berhubungan dengan system pendukung yang tidak adekuat, kurang pengetahuan, dan kurang akrab dengan sumber-sumber komunitas.
16. Keputusasaan, berhubungan dengan perubahan kondisi fisik dan prognosis yang buruk.
17. Resiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi seluler.
18. Resiko injury (jatuh), berhubungan dengan kelelahan, kelemahan, perubahan kognitif, ensefalopati, dan perubahan neuromuscular.
19. Pengelolaan
pengobatan yang tidak efektif, berhubungan dengan kompleksitas dengan
bahan-bahan pengobatan, kurang pengetahuannya tentang penyakit, obat,
dan sumber komunitas, depresi, sakit, malaise.
20. Ketidakseimbangan
nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh), berhubungan dengan kesulitan
menguyah, kehilangan nafsu makan, lesi oral dan esophagus, malabsorbsi
gastrointestinal, dan infeksi oportunistik (kandidiasis dan herpes).
21. Nyeri
akut, berhubungan dengan: pekembanngan penyakit, efek samping
pengobatan, odem limfe, sakit kepala sekunder terhadap infeksi SPP
(Sistem Saraf Pusat), neuropati perifer, dan mialgia parah.
22. Ketidakberdayaan, berhubungan dengan penyakit terminal, bahan pengobatan, dan perjalanan penyakit yang tidak bisa diprediksi.
23. Kurang perawatan diri yang terdiri atas berhias, toileting, instrumental, makan/ minum, dan mandi, berhubungan dengan penurunan kekuatan dan ketahanan, intoleransi aktivitas, dan kebingungan akut/ kronis.
24. Harga diri rendah (kronis dan situasional), berhubungan dengan penyakit kronis dan krisis situasional.
25. Perubahan
persepsi sensori (pendengaran/penglihatan), berhubungan dengan
kehilangan pendengaran sekunder efek pengobatan, kehilangan penglihatan
akibat infeksi CMV.
26. Pola
seksual tidak efektif, berhubungan dengan tindakan seks yang lebih
aman, takut terhadap penyebaran infeksi HIV, tidak berhubungan seks,
impoten sekunder akibat efek obat.
27. Kerusakan
integritas kulit, berhubungan dengan kehilangan otot dan jarinagn
sekunder akibat perubahan status nutrisi, ekskoriasi premium eskunder akibat diare dan lesi (kandidiasis dan herpes), dan kerusakan mobilitas fisik.
28. Perunahan pola tidur, berhubungan dengan nyeri, berkeringat di malam hari, obat-obatan, efek samping obat, kecemasan, depresi dan putus obat (heroin dan kokain).
29. Isolasi
social, berhubungan dengan stigma, ketakutan orang lain terhadap
penyebaran infeksi, ketakutan diri sendiri terhadap penyebaran HIV, moral, budaya, agama, penampilan fisik, serta gangguan harga diri dan gambaran diri.
30. Distress spiritual, berhubungan dengan tantangan system keyakinan dan nilai dan tes keyakinan spiritual.
31. Adanya resiko kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri, seperti adanya ide bunuh diri akibat rasa keputusasaan
2.3 Respon Spesifik pada Penderita HIV/AIDS
Selain berdasarkan diagnosis keperawatan, terhadap tanda-tanda lain pada penderita HIV/AIDS. Mereka umumnya memiliki respons yang spesifik yakni:
2.3.1 Respons Biologis (Imunitas)
Secara imunologis, sel T yang terdiri atas limposit T-helper, disebut limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+
baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV
yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV).
Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp
120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan anti gen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+
dan ko-reseptor nya, bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan
membrane sel dan bagian intinya masuk kedalam sel membrane. Pada bagian
inti terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri atas DNA
polymerase dan ribonuklease. Pada inti yang mengandung RNA, enzim DNA
polymerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease
memusnahkan RNA asli. Enzim polymerase kemudian membentuk kopi DNA kedua
dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997;
Baratawidjaja, 2000).
Kode
genetic DNA berupa untai ganda serta terbentuk, maka akan masuk keinti
sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA kopi dari virus di sispkan dalam
DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+, kemudian bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4 yang mengalami sitolisis ( Stewart,1997).
Virus
HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga menginfeksi
berbagai macam sel, terutama monosit, magrofag, sel-sel microglia
diotak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrite pada kelenjar limfe,
sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans dikulit. Efek infeksi pada
sel epitel usus adalah diare yang kronis(stewart, 1997).
Gejala-gejala
klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari
pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien
yang terinfeksi virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala
selama bertahun-tahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+
mengalami penurunan jumlahnya dari 1000/µl sebelum terinfeksi menjadi
sekitar 200-300/µl setelah terinfeksi 2-10 tahun (stewart 1997).
2.3.2 Respon adaptif psikososial-spiritual
Pengalaman mengalami suatu penyakit akan membangkitkan berbagai perasaan dan reaksi steress, frustasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa malu, berduka, dan ketidakpastian dengan adaptasi terhadap penyakit.
|
Reaksi
|
Proses Psikologis
|
Hal-hal yang Biasa Dijumpai
|
|
1. Shock (kaget, goncangan batin)
|
Merasa bersalah, marah, dan tidak berdaya
|
Rasa takut, hilang akal, frustasi rasa sedih, susah, acting out
|
|
2. Mengucilkan diri
|
Merasa cacat, tidak berguna, dan menutup diri
|
Khawatir menginfeksi orng lain, murung
|
|
3. Membuka status secara terbatas
|
Ingin tau reaksi orang lain, pengalihan stres, ingin dicintai
|
Penolakan, strees, dan konfronntasi
|
|
4. Mencari orang lain yang HIV positf
|
Berbagi rasa, pengenalan, kepercayaan, penguatan dan dukungan sosial
|
Ketergantungan, canpur tangan, tidak percaya pada pemegang rahasia dirinya
|
|
5. Status khusus
|
Perubahan keterasingan menjadi manfaat khusus, perbedaan menjadi hal yang istimewa, dibutuhkan oleh yang lainnya
|
Ketergantungan, dikotomi kita dan mereka (semua orang dilihat sebagai terinfeksi HIV dan direspons seperti itu), over identification.
|
|
6. Perilaku mementingkan orang lain
|
Komitmen dan kesatuan kelompok, kepuasan memberi dan membagi, perasaan sebagai kelompok
|
Pemadaman, reaksi, dan konpensasi yang berlebihan
|
|
7. Penerimaan
|
Integrasi
status positif HIV dengan identitas diri, keseimbangan antara
kepentinggan orang lain dengan diri sendiri, bisa menyebutkan kondisi
seseorang
|
Apatis dan sulit berubah
|
Tabel 2.2 Reaksi Psikologis Pasien HIV
2.3.3 Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit
Kubler’ ross (1974) menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit yaitu :
a. Pengingkaran (denial)
Pada tahap pertama, pasien menunjukkan karakteristik
perilaku pengingkaran, mereka gagal dapat memahami dan mengalami makna
rasional dan dampak emosional dara diagnosis. Pengingkaran dapat di
sebabkan karena tidak di ketahuan pasien pada sakitnya atau sudah
mengetahui dan mengancam dirinya. Pengingkaran dapat di nilai dari
ucapan pasien ‘’ saya di sini istirahat‘’pengingkaran dapat dapat yang
berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada aapa yang di
terima bahwa alat yang tidak berfungi dengan baik kesalahan
laboratorium, atau lebih mungkin perkiraan dokter dan perawat yang tidak
kopenten. Penginkatan diri yang mencolok tanmpak menimbulkan kecemasan.
Peningkatan ini merupakan buffer untuk menerima kenyataan. Pengingkaran
sementara dan segera berubah menjadi fase lain dalam menghadapi
kenyatan ( Achir, Yani 1999).
b. Kemarahan (anger)
Apabila
pengingkaran tidak daapat di pertahan kan lagi maka fase pertama
menjadi kemarahan. Perilaku pasien secra kareteristik yang di hubungkan
dengan marah dan rasa bersalah pasen akan mengalihkan kemarahan pada
segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Biasannya kemarahan di arahkan
kepada dirinya sendiri timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama
atas kemarahan perawat. Semua tindakan perawat menjadi serba salah.
Pasien menjadi banya penuntut, cerewet cemberut tida bersahabat, kasar,
menentang, tidak mau kerjasama, mudah tersinggung meminta banyak
perhatian jika keluarga mengunjungin mereka sikap menolak sehingga
mengakibatkan keluarga segan untuk datang, hal ini menyebabkan
keagresipan ( hudak dan gallo, 1996).
c. Sikap tawar menawar (bargaining)
Setelah fase memarah-marah
berlalu, pasien akan berpikir dan merasakan bahwa protesnya tidak
berarti. .pasien mulai timbul rasa bersalah dan mulai membina hubungan
,pasien berdoa, meminta dan berjanji pada tuhan, tindakan ini merupakan
ciri yang jelas, yaitu pasien menyanggupi aakan menjadi lebih baik bila
jika dia dapat sembuh (Aher Yani 1990).
d. Depresi
Selama
fase ini pasien sedih/berkabung mengesampingkan dan sikap
pertahananya, serta mulai mengatasi kehilangan secara kontrukstif pasien
mencoba perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan waktu. Tingkat
emosional adalah kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah,
penyesalan yang dalam, kesepian, dan waktu untuk menangis berguna pada
saat ini. Prilaku fase ini termasuk didalamnya adalah ketakutan akan
masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga intensitas depresi
tergantung pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999).
e. Penerimaan dan partisipasi
Seiring
dengan berlalunya waktu pasien mulai beradaptasi, kepedihan yang
menyakitkan berkurang, dan bergerak menuju identifikasi sebagai
seseorang yang memiliki keterbatasan karena penyakitnya sebagai seorang
yang cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak
membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan
keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak dan Gallo, 1996)
2.3.4 Respon Adaptif Spiritual
Respons adaptif spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan Kauman dan Nipan (2003). Respon adaptif spiritual, meliputi :
1) Harapan yang realistis
2) Tabah dan sabar
3) Pandai mengambil hikmah
2.3.4 Respons adaptif sosial
Aspek psikososial menurut Stewart (1997) dibedakan menjadi 3 hal, yaitu:
1. Stigma social dapat memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang harga diri pasien.
2. Diskriminasi
terhadap oaring yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja dan
hidup serumah juga akan berpengaruh terhhadap kondisi kesehatan. Bagi
pasien homoseksuaal, penggunaan obat-obat narkotika akan berakibat
terhadap kurangnya dukungan social, hal ini akan memperparah strees
pasien.
3. Terjadinya
waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan,
marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan
upaya pencegahan dan pengobatan. Pasien akhirnya mengonsumsi obat-obat
terlarang untuk menghilangkan strees yang dialami.
2.4 Intervensi Keperawatan Pasien Terinfeksi HIV (PHIV)
Tujuan
asuhan keperawatan pasien terinfeksi HIV (PHIV) adalah untuk mengubah
perilaku ketika berada dalam masa perawatan dan dalam rangka
meningkatkan respon imunitas PHIV melalui pemenuhan kebutuhan fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual dilakukan oleh perawat agar dapat
menurunkan stresor.
Perawat memiliki peran penting dalam asuhan keperawatan pasien HIV/AIDS. Ada dua hal yang penting yang harus dilakukan perawat yakni:
A. Menfasilitasi strategi koping:
1. Memfasilitasi sumber penggunaan potensi diri agar terjadi respon penerimaan sesuai tahapan dari Kubler-Ross.
2. Teknik
kognitif, dapat berupa upaya untuk membantu penyelesaian masalah,
memberikan harapan yang realitis, dan mengingatkan pasien agar pandai
menganbil hikmah.
3. Teknik
perilaku, dilakukan dengan cara mengajarkan perilaku yang mendukung
kesembuhan, seperti: kontrol dan minum obat teratur, konsumsi nutrisi
seimbang, istirahat dan aktivitas teratur, dan menghindari konsumsi atau
tindakan yang dapat menambah parah sakitnya.
B. Dukungan sosial:
1. Dukungan emosional, agar pasien merasa nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan.
2. Dukungan informasi, untuk meningkatkan pengetahuan dan penerimaan pasien terhadap sakitnya.
3. Dukungan material, untuk bantuan/kemudahan akses dalam pelayanan kesehatan pasien.
2.5 Asuhan Keperawatan Respons Biologis (Aspek Fisik)
Aspek
fisik pada PHIV adalah pemenuhan kebutuhan fisik sebagai akibat dari
tanda dan gejala yang terjadi. Aspek perawatan fisik meliputi:
(a) Universal precautions
(b) Pengobatan infeksi sekunder dan pemberian ARV (Antiretroviral)
(c) Pemberian nutrisi
(d) Aktivitas dan istirahat.
2.5.1 Universal Precautions
Selama sakit, penerapan universal precautions
oleh perawat, keluarga, dan pasien sendiri sangat penting. Hal ini
ditujukan untuk mencegah terjadinya penularan virus HIV. Prinsip-prinsip
universal precautions meliputi:
1.
Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh. Bila menangani cairan
tubuh pasien menggunakan alat pelindung, seperti sarung tangan, masker,
kacamata pelindung, penutup kepala, apron, dan sepatu boot. Penggunaan
alat pelindung disesuaikan dengan jenis tindakan yang dilakukan.
2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, termasuk setelah melepas sarung tangan.
3. Dekontaminasi cairan tubuh pasien.
4.
Memakai alat kedokteran sekali pakai atau mensterilisasi semua alat
kedokteran yang dipakai (tercemar). Tidak memakai jarum suntik lebih
dari satu kali, dan tidak memasukkannya kembali ke dalam penutup jarum
atau dibengkokkan.
5. Memelihara kebersihan tempat pelayanan kesehatan.
6. Membuang limbah yang tercemar berbagai cairan tubuh secara benar dan aman (Depkes RI, 1997).
2.5.2 Peran perawat dalam Pemberian ARV
Penggunaan obat ARV kombinasi:
1. Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah:
a. Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil kemungkinan terjadinya resistensi.
b. Meningkatkan efektivitas dan lebih menekan aktivitas virus. Bila
timbul efek samping, bisa diganti dengan obat lainnya, dan bila virus
mulai resisten terhadap obat yang sedang digunakan bisa memakai
kombinasi lain.
2. Efektivitas obat ARV kombinasi:
a. ARV kombinasi lebih efektif karena mempunyai khasiat ARV yang lebih tinggi dan menurunkan viral load lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan satu jenis obat saja.
b. Kemungkinan terjadinya resistensi virus kecil, akan tetapi bila
pasien lupa minum obat dapat menimbulkan terjadinya resistensi.
c. Kombinasi menyebabkan dosis masing-masing obat lebih kecil, sehingga kemungkinan efek samping lebih kecil.
3. Saat memulai menggunakan ARV
Menurut WHO (2002), penggunaan ARV bisa dimulai pada orang dewasa berdasarkan kriteria sebagai berikut :
1) Bila pemeriksaan CD4 bisa dilakukan pada:
a. Pasien stadium IV (menurut WHO), tanpa memperhatikan hasil tes CD4.
b. Pasien stadium I, II, III (menurut WHO) dengan hasil perhitungan limfosit total <200/µl (Yayasan Kerti Praja, 1992).
2) Bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan:
a. Pasien stadium IV (menurut WHO), tanpa memperhatikan hasil hitung limfosit total.
b. Pasien stadium I, II, III (menurut WHO) dengan hasil perhitungan limfosit total <1000-1200/µl.
3) Limfosit total <1000-1200µl dapat diganti dengan CD4 dan
dijumpai tanda-tanda HIV. Hal ini kurang penting pada pasien tanpa
gejala (stadium I menurut WHO) dan hendaknya jangan dilakukan pengobatan
terlebih dahulu karena belum ada petunjuk tentang beratnya penyakit.
4) Pengobatan juga dianjurkan untuk pasien stadium III lanjut,
termasuk kambuh, luka pada mulut yang sukar sembuh, dan infeksi pada
mulut yang berulang dengan tidak memperhatikan hasil pemeriksaan CD4 dan
limfosit total (Depkes, 2003).
4. Cara memilih obat
a. Pertimbangan dalam memilih obat adalah hasil pemeriksaan CD4, viral load,
dan kemampuan pasien mengingat penggunaan obatnya. Pertimbangan yang
baik adalah memilih obat berdasarkan jadwal kerja dan pola hidup.
b. Kebanyakan orang lebih mudah mengingat obat yang diminum sewaktu makan.
5. Efek samping obat
a.
Efek samping jangka pendek adalah mual, muntah, diare, sakit kepala,
lesu dan susah tidur. Efek samping ini berbeda-beda pada setiap orang,
jarang pasien mengalami semua efek samping tersebut. Efek samping jangka
pendek terjadi segera setelah minum obat dan berkurang setelah beberapa
minggu. Selama beberapa minggu penggunaan ARV, diperbolehkan minum obat
lain untuk mengurangi efek samping.
b. Efek samping jangka panjang ARV belum banyak diketahui.
c.
Efek samping pada wanita lebih berat daripada laki-laki, salah satu
cara mengatasinya adalah dengan menggunakan dosis yang lebih kecil.
Beberapa wanita melaporkan menstruasinya lebih berat dan sakit, atau
lebih panjang dari biasanya, namun ada juga wanita yang berhenti sama
sekali menstruasinya. Mekanisme ini belum diketahui secara jelas.
6. Kepatuhan minum obat
1) Kepatuhan terhadap aturan pemakaian obat membantu mencegah
terjadinya resistensi dan dapat menekan virus secara terus-menerus.
2) Kiat penting untuk mengingat minum obat:
a. Minumlah obat pada waktu yang sama setiap hari.
b. Harus selalu tersedia obat di tempat manapun biasanya pasien berada, misalnya di kantor, di rumah, dan lain-lain
c. Bawa obat kemanapun pergi (di kantong, di tas, dan lain-lain asal tidak memerlukan lemari es).
d.
Pergunakan peralatan (jam, Hp yang berisi alarm yang bisa diatur agar
berbunyi setiap waktunya minum obat) (Yayasan Kerti Praja, 1992)
2.5.3 Pemberian nutrisi
Pasien
dengan HIV/AIDS (ODHA) sangat membutuhkan vitamin dan mineral dalam
jumlah yang lebih banyak dari yang biasanya diperoleh dalam makanan
sehari-hari. Sebagian besar ODHA akan mengalami defisiensi vitamin
sehingga memerlukan makanan tambahan (New Mexico AIDS Infonet, 2004 dan
Falma Foundation 2004).
Dalam
beberapa hal, HIV sendiri akan mengalami perkembangan lebih cepat pada
ODHA yang mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Kondisi tersebut
sangat berbahaya bagi ODHa yang mengalami defisiensi vitamin dan
mineral. Vitamin dan mineral juga berfungsi untuk meningkatkan kemampuan
tubuh dalam melawan berkembangnya HIV dalam tubuh (Yayasan Kerti Praja,
2002 dan William 2004).
HIV
menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan penyerapan nutrien. Hal
ini berhubungan dengan menurunnya atau habisnya cadangan vitamin dan
mineral dalam tubuh. Defisiensi vitamin dan mineral pada ODHA dimulai
sejak masih stadium dini. Walaupun jumlah makanan ODHA sudah cukup dan
berimbang seperti orang sehat, tetapi akan tetap terjadi defisiensi
vitamin dan mineral.
Berdasarkan
beberapa hal tersebut, selain mengkonsumsi dalam jumlah yang tinggi,
para ODHA juga harus mengkonsumsi suplemen atau nutrisi tambahan.
Pemberian nutrisi tambahan bertujuan agar beban ODHA tidak bertambah
akibat defisiensi vitamin dan mineral.
2.5.4 Aktivitas dan Istirahat
a) Manfaat olahraga terhadap imunitas tubuh
Hampir
semua organ merespons stres olahraga. Pada keadaan akut, olahraga akan
berefek buruk pada kesehatan, sebaliknya, olahraga yang dilakukan secara
teratur menimbulkan adaptasi organ tubuh yang berefek menyehatkan.
Olahraga yang dilakukan secara teratur menghasilkan perubahan pada
jaringan, sel, dan protein pada sistem imun.
b) Pengaruh latihan fisik terhadap tubuh
(1) Perubahan sistem sirkulasi
Olahraga meningkatkan cardiac output
dari 5 1/menit menjadi 20 1/menit pada orang dewasa sehat. Hal ini
menyebabkan peningkatan darah ke otot skelet dan jantung. Latihan yang
teratur meningkatkan adaptasi pada sistem sirkulasi, meningkatkan volume
dan masa ventrikel kiri. Hal ini berdampak pada peningkatan isi
sekuncup dan cardiac output sehingga tercapai kapasitas kerja yang maksimal.
(2) Sistem Pulmoner
Olahraga meningkatkan frekuensi nafas, meningkatkan pertukaran gas serta pengangkutan oksigen, dan penggunaan oksigen oleh otot
(3) Metabolisme
Untuk melakukan olahraga, otot memerlukan energi. Pada olahraga
intensitas rendah sampai sedang, terjadi pemecahan trigliserida dan
jaringan adiposa menjadi glikogen dan FFA (Free Fatty Acid). Pada
olahraga intensitas tinggi kebutuhan energi meningkat, otot makin
tergantung glikogen sehingga metabolisme berubah dari metabolisme aerob
menjai anaerob.
Metabolisme anaerob menghasilkan dua ATP dan asam laktat yang
menurunkan kerja otot. Pada saat olahraga tubuh juga meningkatkan
ambilan glukosa darah, untuk mencegah hipoglikemia, tubuh meningkatkan
glikogenolisis dan glukoneogenesis hati untuk mempertahankangula darah
normal.
Olahraga berlebihan menyebabkan hipernatremia karena banyak cairan
isotonis yang keluar bersama keringat, serta hiperkalemia karena kalium
banyak dilepas dari otot. Selain itu bisa juga terjadi dehidrasi dan
hiperosmoslaritas.
2.6 Asuhan Keperawatan Respons Adaptif Psikologis (Strategi Koping)
Mekanisme
koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk menghadapi
perubahan yang diterima. Apabila mekanisme koping berhasil, maka orang
tersebut akan dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi.
Mekanisme koping dapat di pelajari , sejak awal timbulnya stresor
sehingga induvidu tersebut menyadari dampak dari sresor tersebut
Carlson, 1994). Kemampuan koping individu tergantung dari temperamen,
persepsi, kognisi serta latar belakang budaya/norma tempatnya
dibesarkan ( Carlson, 1994).
Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat.
Belajar yang dimaksud adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada
pengaruh faktor internal dan eksternal (Nursalam , 2003). Mekanisme
belajar merupakan suatu proses didalam sistem adaptasi (cognator)
yang meliputi mempersepsikan suatu informasi, baik dalam bentuk
implisit maupun eksplisit. Belajar implisit umumnya bersifat reflektf
dan tidak memerlukan keasadaran (focal). Keadaan ini ditemukan
pada perilaku kebiasaan, sensitisasi, dan keadaan. Pada habituasi timbul
suatu penurunan dari tranmisi sinaps pada neuron sensoris sebagai
akibat dari penurunan jumlah neurotransmitter yang berkurang yang
dilepas oleh terminal. Pada habituasi menuju ke depresi homosinapsis
untuk suatu aktivitas dari luar yang terangsang terus-menerus .
Sensitivitas sifatnya lebih komplek dari habituasi, mempunyai potensial
jangka panjang (beberapa menit sampai beberapa minggu).
Koping yang efektif menempati tempat yang central terhadap
ketahanan tubuh dan daya penolakan tubuh terhadap gangguan maupun
serangan suatu penyakit baik bersifat fisik maupun psikis, sosial,
spritural. Perhatian terhadap koping tidak hanya terbatas pada sakit
ringan tetaapi justru penekanannya pada kondisi sakit yang berat.
Lipowaski membagi koping dalam 2 bentuk yaitu coping style dan coping strategy. Coping style merupakan mekanisme adaptasi individu meliputi mekanisme psikologis dan mekanisme kognitif dan persepsi. Sifat dasar coping style
adalah mengurangi makna suatu konsep yang dianutnya, misalnya penolakan
atau pengingkaran yang bervariasi yang tidak realistis atau berat
(psikosis) hingga pada tingkatan yang sangat ringan saja terhadap suatu
keadaan.
Coping strategy
merupakan koping yang digunakan individu secara sadar dan terarah dalam
mengatasi sakit atau stresor yang dihadapinya. Terbentuknya mekanisme
koping bisa diperoleh melalui proses belajar dalam pengertian yang luas
dan relaksasi. Apabila individu mempunyai mekanisme koping yang efektif
dalam menghadapi stressor, maka stresor tidak akan menimbulkan stres
yang berakibat kesakitan (disease), tetapi stressor justru menjadi stimulan yang mendatangkan wellness dan prestasi.
A. Strategi koping (Cara Penyelesaian Masalah)
Beradaptasi
terhadap penyakit memerlukan berbagai strategi tergantung keterampilan
koping yang bisa digunakan dalam menghadapi situasi sulit. Menurut Mooss
(1984) yang dikutip Brunner dan Suddarth (2002) menguraikan tujuh
koping yang negatif kategori keterampilan, yakni :
1. Penyangkalan (avoidance).
Penyangkalan meliputi penolakan untuk menerima atau menghargai
keseriusan penyakit. Pasien biasanya menyamarkan gejala yang merupakan
bukti suatu penyakit atau mengacuhkan beratnya diagnosis penyakit dan
penyangkalan ini merupakan mekanisme pertahanan ego yang melindungi
terhadap kecemasan.
2. Menyalahkan diri sendiri (self-blame).
Koping ini muncul sebagai reaksi terhadap suatu keputusasaan. Pasien
merasa bersalah dan semua yang terjadi akibat dari perbuatannya.
3. Pasrah (Wishfull thinking). Pasien merasa pasrah terhadap masalah yang menimpanya, tanpa adanya usaha dan motivasi untuk menghadapi.
B. Koping yang positif (tenik koping)
Ada 3 teknik koping yang ditawarkan dalam mengatasi strees:
a) Pemberdayaan sumber daya psikologis (potensi diri)
Sumber
daya psikologis merupakan kepribadian dan kemampuan individu dalam
memanfaatkannya menghadapi stres yang disebabkan situasi dan lingkungan.
Karakteristik dibawah ini bawah ini merupakan sumber daya psikologis
yang penting.
1. Pikiran yang positif tentang dirinya (harga diri)
Jenis ini bermanfaat dalam mengatasi situasi strees, sebagaimana teori dari Cooley’s looking-glass self: rasa percaya diri, dan kemampuan untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
2. Mengontrol diri sendiri
Kemampuan dan keyakinan untuk mengontrol tentang diri sendiri dan situasi (internal control) dan external control
(bahwa kehidupannya dikendalikan oleh keberuntungan dan nasib dari
luar) sehimngga pasien akan mampu mengambil hikmah dari sakitnya.
Kemampuan mengontrol diri akan dapat memperkuat koping pasien, perawat
harus menguatkan kontrol diri pasien dengan melakukan tindakan untuk:
(1) Membantu pasien mengidentifikasi masalah dan seberapa jauh dia dapat mengontrol diri.
(2) Meningkatkan perilaku menyelesaikan masalah
(3) Membantu meningkatkan rasa percaya diri, bahwa pasien akan mendapatkan hasil yang lebih baik.
(4) Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengambil keputusan terhadap dirinya.
(5) Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi dan lingkungan yang
dapat meningkatkan control diri: keyakinan, agama.
b) Rasionalisasi (teknik kognitif)
Upaya
memahami dan menginterpretasikan secara spesifik terhadap stres dalam
mencari arti dan makna strees. Dalam menghadapi situasi stres, respons
individu secara rasional adalah dia akan menghadapi secara terus terang,
mengabaikan atau memberitahukan kepada diri sendiri bahwa masalah
tersebut bukan sesuatu yang penting untuk dipikirkan dan semuanya akan
berakhir dengan sendirinya. Sebagian orang berfikir bahwa setiap suatu
kejadian akan menjadi suatu tantangan dalam hidupnya. Sebagian lagi
menggantungkan semua permasalahan dengan melakukan kegiatan spiritual,
lebih mendekatkan dirinya kepada sang pencipta untuk mencari hikmah dan
makna dari semua yang terjadi.
c) Teknik perilaku
Teknik
perilaku dapat dipergunakan untuk membantu individu dalam mengatasi
situasi strees. Beberapa individu melakukan kegiatan yang bermanfaat
dalam menunjang kesembuhannya. Misalnya, pasien HIV akan melakukan
aktivitas yang dapat membantu peningkatan daya tahan tubuhnya dengan
tidur secara teratur, makan seimbang, minum obat anti retroviral dan
obat untuk infeksi sekunder secara teratur, tidur dan istirahat yang
cukup, dan menghindari konsumsi obat-obat yang memperparah keadaan
sakitnya.
2.7 Asuhan Keperawatan Respons Sosial (Keluarga dan Peer Group)
Dukungan
sosial sangat diperlukan terutama pada PHIV yang kondisinya sudah
sangat parah. Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial
meliputi pasangan (suami/istri), orang tua, anak, sanak keluarga, teman,
tim kesehatan, atasan dan konselor.
a. Konsep Dukungan Sosial
Beberapa
pendapat mengatakan bahwa dukungan sosial terutama dalam konteks
hubungan yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga
barangkali merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting.
b. Pengertian Dukungan Sosial
Sebagai
satu diantara fungsi pertalian/ikatan sosial segi fungsionalnya
mencakup dukungan emosional, mendorong adanya ungkapan perasaan,
memberi nasehat atau informasi, pemberian bantuan material. Sebagai
fakta sosial yang sebenarnya sebagai/kognisi individual atau dukungan
yang dirasakan melawan dukungan yang diterima. Dukungan sosial terdiri
atas informasi atau nasehat verbal dan atau non verbal, bantuan nyata
atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena
kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi
pihak penerima.
c. Jenis Dukungan Sosial
House dalam Depkes (2002) membedakan empat jenis atau demensi dukungan sosial menjadi:
1) Dukungan emosional
Mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.
2) Dukungan penghargaan
Terjadi
lewat ungkapan hormat/penghargaan positif untuk orang lain itu,
dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu,
dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain, misalnya orang itu
kurang mampu atau lebih buruk keadaannya (menambahkan harga diri).
3) Dukungan instrumental
Mencakup
bantuan langsung, misalnya orang memberi pinjaman uang kepada orang
yang membutuhkan atau menolong dengan memberi pekerjaan pada orang yang
tidak punya pekerjaan.
4) Dukungan informatif
Mencakup pemberian nasihat, saran, pengetahuan, dan informasi serta petunjuk.
d. Hubungan dukungan sosial dengan kesehatan
Menurut hipotesis penyangga dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dan
melindungi orang itu terhadap efek negatif dari stres berat. Fungsi yang
bersifat melindungi ini hanya atau terutama efektif jika orang itu
mengalami stres yang kuat. Dalam stres yang rendah terjadi sedikit atau
tidak ada penyangga bekerja dengan dua orang. Orang-orang dengan
dukungan sosial tinggi mungkin akan kurang menilai situasi penuh stress
(mereka akan tahu bahwa mungkin akan ada seseorang yang dapat membantu
mereka). Orang-orang dengan dukungan sosial tinggi akan mengubah respon
mereka terhadap sumber stress misalnya pergi ke seorang teman untuk
membicarakan masalahnya.
Hipotesis efek langsung berpendapat bahwa dukungan sosial itu
bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan, tidak peduli banyaknya
stres yang dialami orang-orang menurut hipotesis ini efek dukungan
sosial yang positif sebanding di bawah intensitas stres tinggi dan
rendah. Contohnya adanya orang-orang dengan dukungan sosial tinggi dapat
memiliki penghargaan diri yang lebih tinggi yang membuat mereka tidak
begitu mudah diserang stres.
e. Dukungan sosial (social support)
Hampir setiap orang tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri, tetapi
mereka memerlukan bantuan orang lain. Berdasarkan hasil penelitian bahwa
dukungan sosial merupakan mediator yang penting dalam menyelesaikan
masalah seseorang. Hal ini karena induvidu merupakan bagian dari
keluarga, teman sekolah atau kerja, kegiatan agama ataupun bagian dari
kelompok lainnya.
2.8 Asuhan Keperawatan Respons Spiritual
Asuhan keperawatan pada aspek spiritual ditekankan pada penerimaan
pasien terhadap sakit yang dideritanya (Ronaldson, 2000), sehingga PHIV
akan dapat menerima dengan ikhlas terhadap sakit yang dialami dan mampu
mengambil hikmah. Asuhan keperawatan yang dapat diberikan adalah :
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan.
Harapan
merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial. Perawat
harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan, akan
memberikan ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
b. Pandai mengambil hikmah.
Peran
perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada
pasien untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang
dialaminya. Dibalik semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud
dari sang pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan
diri kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara terus
menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan selama
sakit.
c. Ketabahan hati.
Karakteristik
seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam menghadapi
cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat akan tabah dalam
menghadapi setiap cobaan. Induvidu tersebut biasanya mempunyai keteguhan
hati dalam menentukan kehidupannya. Ketabahan hati sangat dianjurkan
kepada PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan memberikan
contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak;
bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan pada umat-Nya. Melebihi
kemampuannya (Al Baqarah, 2:286). Pasien harus di yakinkan bahwa semua
cobaan yang diberikan pasti mengandung hikmah yang sangat penting dalam
kehidupannya. Pada respon spiritual pasien HIV, penggunan strategi
koping meningkatkan harapan dan ketabahan pasien serta memacu pasien
untuk pandai mengambil hikmah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada
pengkajian klien dengan HIV/AIDS, sering ditemukan penurunan imunitas
yang biasanya diikuti oleh adanya peningkatan resiko dan derajat
keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan. Terjadinya
penurunan imunitas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang perlu
diperhatikan oleh tenaga kesehatan adalah stressor psikososial.
Tujuan asuhan keperawatan pasien terinfeksi HIV (PHIV) adalah untuk
mengubah perilaku ketika berada dalam masa perawatan dan dalam rangka
meningkatkan respon imunitas PHIV melalui pemenuhan kebutuhan fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual dilakukan oleh perawat agar dapat
menurunkan stresor.
Aspek
fisik pada PHIV adalah pemenuhan kebutuhan fisik sebagai akibat dari
tanda dan gejala yang terjadi. Aspek perawatan fisik meliputi: Universal precautions, pengobatan infeksi sekunder dan pemberian ARV (Antiretroviral), pemberian nutrsi dan Aktivitas serta istirahat. Dukungan
sosial sangat diperlukan terutama pada PHIV yang kondisinya sudah
sangat parah. Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial
meliputi pasangan (suami/istri), orang tua, anak, sanak keluarga, teman,
tim kesehatan, atasan dan konselor. Asuhan keperawatan pada aspek
spiritual ditekankan pada penerimaan pasien terhadap sakit yang
dideritanya (Ronaldson, 2000), sehingga PHIV akan dapat menerima dengan
ikhlas terhadap sakit yang dialami dan mampu mengambil hikmah.
3.2 Saran
Penerapan universal precautions oleh perawat, keluarga, dan pasien sangat penting. Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya penularan virus HIV.
Dalam melakukan rencana tindakan pada klien dengan HIV/AIDS, kita harus
melihat masalah-masalah yang sedang dialami oleh klien dari hasil
pengkajian keperawatan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth. 2002. Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Nursalam. 2001. Proses Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Nursalam dkk. 2009. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar